Kamis, 06 Agustus 2020

Belajar lewat internet, pantaskah?


Belajar memang bisa dimana saja dan kapan saja, termasuk belajar melalui sarana internet. Kemudahan mengakses informasi di internet menyebabkan para netizen kecanduan untuk mengonsumsinya tanpa peduli kebenaran informasi tersebut. Bagaimanakah sikap kita terhadap para netizen yang belajar melalui internet? Apakah belajar agama (Islam) melalui internet dibenarkan dalam Islam?

Rasulullah saw. bersabda: “Hikmah adalah barang milik mukmin yang hilang. Di mana saja ia menemukannya, maka hendaklah ia mengambilnya.” (HR. Tirmidzi)

Dalam Islam, hikmah (ilmu pengetahuan) telah menjadi permata bagi umat muslim dari zaman dulu hingga sekarang. Hal itu dikarenakan al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman final umat muslim telah memberikan stimulus-stimulus penggelora semangat umatnya untuk terus menuntut ilmu. Ghiroh belajar dalam Islam pun tak hanya terbatas dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman saja, namun juga mencakup berbagai macam bidang keilmuan.

Oleh sebab itu, umat muslim dituntut untuk terus belajar dari buaian hingga liang lahad dengan tujuan untuk memahami hakikat kehidupan. Dengan begitu, kualitas keimanannya akan terus meningkat seiring dengan proses tadabur dan tafakur alam semesta.

Dengan berkembangnya teknologi yang semakin mutakhir saat ini, ilmu pengetahuan bukan lagi menjadi sesuatu yang langka untuk dikenyam. Dunia menjadi seolah tanpa batas, segala hal bisa diakses dengan mudah melalui ujung jari. Kegiatan belajar pun bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja, termasuk belajar agama (Islam, pen). Prosesi belajar agama Islam yang dulu identik dengan majelis taklim di surau dan pembelajaran formal di bangku madrasah, kini telah berkembang menjadi lebih praktis dan efisien dengan memanfaatkan internet.

Mengutip dari laman kumparan.com. Menurut riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020", hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Riset yang dirilis pada akhir Januari 2020 itu menyebutkan, jumlah penguna internet di Indonesia sudah mencapai 175,4 juta orang, sementara total jumlah penduduk Indonesia sekitar 272,1 juta. Dibanding tahun 2019 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat sekitar 17 persen atau 25 juta pengguna.

Selama 2019, pengguna internet di Indonesia yang berusia 16 hingga 64 tahun memiliki waktu rata-rata selama 7 jam 59 menit per hari untuk berselancar di dunia maya. Angka tersebut melampaui rata-rata global yang hanya menghabiskan waktu 6 jam 43 menit di internet per harinya.

Jumlah yang masif ini membuat dakwah di internet menjadi primadona di tanah air. Hal itu terbukti dengan derasnya tulisan, video, dan gambar tentang Islam di internet dari berbagai ormas dengan beragam pembahasan, seperti hukum keluarga, politik dan lain-lain.

Menilik dari kemudahan dalam mengakses dan melimpahnya informasi tentang agama Islam yang ada di internet. Muncul beberapa pertanyaan, apakah belajar Islam melalu media internet dibolehkan oleh para ulama? Apakah ilmu agama Islam yang ada di internet memiliki validitas yang mumpuni untuk dipelajari? Atau malah sebaliknya, internet hanya dipenuhi hoax dan “sampah-sampah” pengetahuan?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Sulawesi Tengah melarang umat Islam di daerah tersebut belajar agama Islam lewat internet khususnya media sosial (medsos). Ketua MUI Palu, Prof Zainal Abidin M.Ag. menyatakan bahwa informasi di media sosial yang disebarkan oleh oknum-oknum tertentu tidak dapat dijadikan referensi sepenuhnya. Atas dasar pernyataan di atas, belajar melalui internet tidak disarankan karena memiliki banyak cacat. Di antaranya adalah informasi yang ada di internet belum memiliki reliabilitas dan legalitas terpercaya karena mudah ditiru dan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal itu terjadi dikarenakan semua orang bisa menuliskan apa yang dia inginkan tanpa ada batas moral. Terlebih lagi, maraknya orang-orang yang berideologi menyimpang seperti liberalisme, sekularisme, dan radikalisme leluasa menafsirkan agama dan mem-posting-nya di internet. Di tengah beragam macam informasi dari berbagai sumber seperti ini, Google tidak pernah peduli apakah informasi itu benar atau salah. Tugasnya hanya mencarikan info bagi konsumennya.

Selain informasi yang belum seratus persen dapat dipertanggung jawabkan, belajar agama Islam melalui internet juga sangat rentan terhadap kesalahan penafsiran. Metode penyampaian yang bersifat satu arah tanpa dibarengi tanya jawab dan diskusi sering menimbulkan misinterpretasi dan confusing of knowledge bagi penerimanya. Jika hal ini terus berkelanjutan, maka dapat menghilangkan makna ajaran yang sesungguhnya. Jangankan belajar tanpa menyertakan guru, murid-murid yang belajar dari gurunya secara langsung saja masih berkemungkinan menjadi sesat, apalagi hanya murid yang belajar dari dunia maya.

Jika kita merujuk kepada buku “Thuruq Manhajiyah” karya Syekh Musthofa Ridho al-Azhari, disebutkan terdapat 4 piranti menuntut ilmu, yakni Guru (Syeikh Fattah), kecerdasan akal (Aql Rojih), kitab yang valid (Kutub Sohah), dan berkelanjutan dengan pengulangan (Mudawamah wa Ilhah). Sedangkan belajar agama Islam melalui internet menghilangkan sebagian dari piranti-piranti tersebut, khususnya piranti ketiga dan keempat. Bahkan dalam beberapa kasus, empat piranti tersebut hilang secara keseluruhan saat belajar dari internet. Selain itu, mempelajari ilmu agama dari internet juga sangat sensitif terhadap disorientasi maksud yang seharusnya bertujuan untuk kepentingan akademik dan sosial menjadi komersial dan bisnis.

Akan tetapi, menurut saya, sebenarnya bukan tidak boleh memanfaatkan Google dalam mencari informasi tertentu, termasuk informasi mengenai agama Islam. Hanya saja, perlu diketahui bahwa Google bukanlah sumber ilmu agama secara langsung. Google sendiri bukan sumber informasi, tapi berfungsi sekedar memberi clue (jejak), yang masih harus ditelusuri lebih lanjut. Oleh sebab itu, kita tidak bisa belajar agama dari Google, tetapi dalam kondisi tertentu dan terbatas, Google bisa saja dimanfaatkan untuk mencari jejak tulisan terkait dengan ilmu agama Islam. Tentu dalam jumlah yang amat sangat terbatas sekali.

Dari beberapa pembahasan di atas, kita dapat mengetahui kedudukan belajar agama Islam di internet. Bersikap kritis terhadap data merupakan keharusan dan menjadi prinsip yang harus di pegang ketika seorang muslim mengarungi luas dan bebasnya informasi tentang Islam. Pengetahuan yang tersedia di internet tidak seharusnya dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar agama, tetapi harus dibarengi dengan mengikuti kajian dari ustadz yang berkualitas dan berlegalitas sebagai tempat bertanya dan diskusi. Jika ada orang yang semata-mata mengandalkan ilmunya hanya dari Google saja atau bahkan sampai menjadikan Google sebagai satu-satunya sumber ilmu agama, tentu saja itu merupakan awal dari kekeliruan dan kesesatan. Sebab sumber ilmu agama islam adalah Rasulullah Saw lalu diwariskan kepada ulama, bukan mbah Google alaihissalam.


Oleh: Arry Muhammad