Belajar memang bisa dimana saja dan kapan saja, termasuk belajar melalui
sarana internet. Kemudahan mengakses informasi di internet menyebabkan para
netizen kecanduan untuk mengonsumsinya tanpa peduli kebenaran informasi
tersebut. Bagaimanakah sikap kita terhadap para netizen yang belajar melalui
internet? Apakah belajar agama (Islam) melalui internet dibenarkan dalam Islam?
Rasulullah saw. bersabda: “Hikmah adalah barang milik mukmin yang
hilang. Di mana saja ia menemukannya, maka hendaklah ia mengambilnya.” (HR.
Tirmidzi)
Dalam Islam, hikmah (ilmu pengetahuan) telah menjadi permata bagi umat
muslim dari zaman dulu hingga sekarang. Hal itu dikarenakan al-Qur’an dan
Hadits sebagai pedoman final umat muslim telah memberikan stimulus-stimulus
penggelora semangat umatnya untuk terus menuntut ilmu. Ghiroh belajar
dalam Islam pun tak hanya terbatas dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman saja,
namun juga mencakup berbagai macam bidang keilmuan.
Oleh sebab itu, umat muslim dituntut untuk terus belajar dari buaian hingga
liang lahad dengan tujuan untuk memahami hakikat kehidupan. Dengan begitu,
kualitas keimanannya akan terus meningkat seiring dengan proses tadabur dan
tafakur alam semesta.
Dengan berkembangnya teknologi yang semakin mutakhir saat ini, ilmu
pengetahuan bukan lagi menjadi sesuatu yang langka untuk dikenyam. Dunia
menjadi seolah tanpa batas, segala hal bisa diakses dengan mudah melalui ujung
jari. Kegiatan belajar pun bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan oleh
siapa saja, termasuk belajar agama (Islam, pen). Prosesi belajar agama Islam
yang dulu identik dengan majelis taklim di surau dan pembelajaran formal di
bangku madrasah, kini telah berkembang menjadi lebih praktis dan efisien dengan
memanfaatkan internet.
Mengutip dari laman kumparan.com. Menurut riset platform manajemen media
sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk
"Global Digital Reports 2020", hampir 64 persen penduduk Indonesia
sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Riset yang dirilis pada akhir
Januari 2020 itu menyebutkan, jumlah penguna internet di Indonesia sudah
mencapai 175,4 juta orang, sementara total jumlah penduduk Indonesia sekitar
272,1 juta. Dibanding tahun 2019 lalu, jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat
sekitar 17 persen atau 25 juta pengguna.
Selama 2019, pengguna internet di Indonesia yang berusia 16 hingga 64 tahun
memiliki waktu rata-rata selama 7 jam 59 menit per hari untuk berselancar di
dunia maya. Angka tersebut melampaui rata-rata global yang hanya menghabiskan
waktu 6 jam 43 menit di internet per harinya.
Jumlah yang masif ini membuat dakwah di internet menjadi primadona di tanah
air. Hal itu terbukti dengan derasnya tulisan, video, dan gambar tentang Islam
di internet dari berbagai ormas dengan beragam pembahasan, seperti hukum
keluarga, politik dan lain-lain.
Menilik dari kemudahan dalam mengakses dan melimpahnya informasi tentang
agama Islam yang ada di internet. Muncul beberapa pertanyaan, apakah belajar
Islam melalu media internet dibolehkan oleh para ulama? Apakah ilmu agama Islam
yang ada di internet memiliki validitas yang mumpuni untuk dipelajari? Atau
malah sebaliknya, internet hanya dipenuhi hoax dan “sampah-sampah” pengetahuan?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu, Sulawesi Tengah melarang umat
Islam di daerah tersebut belajar agama Islam lewat internet khususnya media
sosial (medsos). Ketua MUI Palu, Prof Zainal Abidin M.Ag. menyatakan bahwa
informasi di media sosial yang disebarkan oleh oknum-oknum tertentu tidak dapat
dijadikan referensi sepenuhnya. Atas dasar pernyataan di atas, belajar melalui
internet tidak disarankan karena memiliki banyak cacat. Di antaranya adalah
informasi yang ada di internet belum memiliki reliabilitas dan legalitas
terpercaya karena mudah ditiru dan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Hal itu terjadi dikarenakan semua orang bisa menuliskan apa
yang dia inginkan tanpa ada batas moral. Terlebih lagi, maraknya orang-orang
yang berideologi menyimpang seperti liberalisme, sekularisme, dan radikalisme
leluasa menafsirkan agama dan mem-posting-nya di internet. Di tengah beragam
macam informasi dari berbagai sumber seperti ini, Google tidak pernah peduli
apakah informasi itu benar atau salah. Tugasnya hanya mencarikan info bagi
konsumennya.
Selain informasi yang belum seratus persen dapat dipertanggung jawabkan,
belajar agama Islam melalui internet juga sangat rentan terhadap kesalahan
penafsiran. Metode penyampaian yang bersifat satu arah tanpa dibarengi tanya
jawab dan diskusi sering menimbulkan misinterpretasi dan confusing of
knowledge bagi penerimanya. Jika hal ini terus berkelanjutan, maka dapat
menghilangkan makna ajaran yang sesungguhnya. Jangankan belajar tanpa
menyertakan guru, murid-murid yang belajar dari gurunya secara langsung saja
masih berkemungkinan menjadi sesat, apalagi hanya murid yang belajar dari dunia
maya.
Jika kita merujuk kepada buku “Thuruq Manhajiyah” karya Syekh
Musthofa Ridho al-Azhari, disebutkan terdapat 4 piranti menuntut ilmu, yakni
Guru (Syeikh Fattah), kecerdasan akal (Aql Rojih), kitab yang
valid (Kutub Sohah), dan berkelanjutan dengan pengulangan (Mudawamah
wa Ilhah). Sedangkan belajar agama Islam melalui internet menghilangkan
sebagian dari piranti-piranti tersebut, khususnya piranti ketiga dan keempat.
Bahkan dalam beberapa kasus, empat piranti tersebut hilang secara keseluruhan
saat belajar dari internet. Selain itu, mempelajari ilmu agama dari internet
juga sangat sensitif terhadap disorientasi maksud yang seharusnya bertujuan
untuk kepentingan akademik dan sosial menjadi komersial dan bisnis.
Akan tetapi, menurut saya, sebenarnya bukan tidak boleh memanfaatkan Google
dalam mencari informasi tertentu, termasuk informasi mengenai agama Islam.
Hanya saja, perlu diketahui bahwa Google bukanlah sumber ilmu agama secara
langsung. Google sendiri bukan sumber informasi, tapi berfungsi sekedar memberi
clue (jejak), yang masih harus ditelusuri lebih lanjut. Oleh sebab itu, kita
tidak bisa belajar agama dari Google, tetapi dalam kondisi tertentu dan
terbatas, Google bisa saja dimanfaatkan untuk mencari jejak tulisan terkait
dengan ilmu agama Islam. Tentu dalam jumlah yang amat sangat terbatas sekali.
Dari beberapa pembahasan di atas, kita dapat mengetahui kedudukan belajar
agama Islam di internet. Bersikap kritis terhadap data merupakan keharusan dan
menjadi prinsip yang harus di pegang ketika seorang muslim mengarungi luas dan
bebasnya informasi tentang Islam. Pengetahuan yang tersedia di internet tidak
seharusnya dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar agama, tetapi harus
dibarengi dengan mengikuti kajian dari ustadz yang berkualitas dan berlegalitas
sebagai tempat bertanya dan diskusi. Jika ada orang yang semata-mata
mengandalkan ilmunya hanya dari Google saja atau bahkan sampai menjadikan
Google sebagai satu-satunya sumber ilmu agama, tentu saja itu merupakan awal
dari kekeliruan dan kesesatan. Sebab sumber ilmu agama islam adalah Rasulullah
Saw lalu diwariskan kepada ulama, bukan mbah Google alaihissalam.